Disebuah perpustakaan, terlihat seorang siswi yang sedang serius membaca bukunya. Siswi tersebut sangat serius hingga tak memperhatikan bahwa bel masuk sudah berbunyi nyaring. Siswi tersebut makin tambah asyik dengan pekerjaannya. Duduk di bangku yang dekat dengan jendela, dan manik matanya tetap membaca dengan serius kalimat-kalimat yang ada di buku tebal berjudul besar ‘Sherlock Holmes’ itu.
Siswi tersebut menyibakkan rambut sebahunya beberapa kali. Poni-nya yang sekarang sudah panjang, agak sedikit menyulitkannya untuk membaca karena menutupi mata yang dilapisi oleh kacamata bertangkai merah itu. siswi tersebut membuka halaman selanjutnya dengan tidak sabar sehingga menyebabkan suara seperti kertas yang dirobek paksa. Karena sangat penasaran dengan akhir novel tersebut, siswi itu rela meninggalkan pelajaran yang disukainya. ‘hanya sekali ini saja..,’ gumamnya dalam hati.
Siswi itu sebenarnya tahu kalau ini sudah waktunya untuk masuk dan duduk di kelas lalu memperhatikan guru yang mengajar di depan kelas. Namun rasa keingin-tahuannya membutakan semuanya. Dia hanya ingin membaca sampai habis novel misteri tersebut dengan tenang tanpa gangguan apapun. Seperti yang sedanag dilakukannya disini. Sendirian di perpustakaan tanpa murid lain menemaninya. Hanya Ibu penjaga perpustakaan saja yang ada.
Selama apapun yang dilewatkan oleh siswi itu, tak ‘kan ada yang tahu. Karena memang hawa keberadaannya itu sedikit. Hingga tak banyak orang yang mengetahui dirinya. Padahal dia termasuk salah satu murid yang pintar. Hanya saja, dia tak ingin memperlihatkan itu. alasannya mudah.. dia hanya malu. Bahkan guru-guru jarang memanggil namanya saat mengabsen di kelas. Yang dia lakukan hanya berusaha agar guru itu menyadari keberadaannya dengan mengangkat tangannya setiap pagi saat diabsen.
Seperti sekarang. Kalaupun dia membolos pada pelajaran bahasa Inggris kali ini, juga tidak ada yang mengetahuinya.
“hei, murid yang disana! Sudah jam berapa ini? kau harus kembali ke kelasmu!” tegur penjaga perpustakaan itu. Ibu paruh-baya berkerudung itu menatap tajam kepada siswi tadi. “kalau tidak salah namamu itu Syarifah Nuraini Febrianti bukan?” tanya guru itu sembari melihat daftar absen kelas IX-9.
Dengan ragu-ragu, Syarifah atau yang lebih bisa dipanggil Risa menutup novelnya. “ya.. ada apa ya bu?” tanya Risa dengan suara kecil. Ibu yang biasa dipanggil Ibu Tini itu mendesah kecil.
“kalau suaramu kecil begitu, Ibu mana bisa mendengarmu nak.. kamu tahu ‘kan usia Ibu sudah lumayan tua? Itu juga berefek samping ke alat pendengaran Ibu,” kata Ibu Tini sambil memijat pelan dahinya.
Risa langsung bangkit dari kursinya dan meletakkan novel itu kemabli ke raknya semula. Lalu berjalan mendekati meja Bu Tini. “saya kembali ke kelas dulu ya Bu.. permisi..,” ucapnya sopan seraya membungkuk sedikit.
“eh tunggu!”
Kaki Risa yang tadinya ingin keluar dari ruangan penuh buku itu terhenti ketika mendengar suara Bu Tini memanggilnya. “iya Bu? Ada apa?” tanya Risa. Bu Tini tersenyum tipis.
“saya tahu kamu pasti sedang bosan ‘kan?”tanya Bu Tini. Dari nada bicaranya, Bu Tini terlihat seperti mengetahui seluk-beluk kehidupan Risa di sekolah. Risa menatap mata hitam guru tersebut. “kesini sebentar, Syarifah,” kata Bu Tini sambil sedikit melambaikan tangannya mengajak Risa untuk duduk di hadapannya.
Kali ini Risa benar-benar takut akan senyuman penuh arti guru dihadapannya sekarang. Setelah dia duduk di kursi yang berada di hadapan Bu Tini, guru tersebut memandanginya dengan tajam. Namun, tetap menyunggingkan sebuah senyuman. Entah apa maksud dari senyuman itu, Risa –pun tidak tahu.
“ada apa Bu?” tanya Risa. Bu Tini hanya tetap tersenyum. Risa sedikit bergidik dibuatnya.
“kelihatannya kamu memang benar-benar bosan. Apa ada yang membebani pikiranmu sehingga kamu terlihat sangat bosan seperti ini?” tanya Bu Tini.
Terlihat raut wajah Risa berubah menjadi seratus persen heran. ‘maksud Bu Tini ini apa?’ batinnya dalam hati.
“ahahaha~” tawa Bu Tini pelan. Lalu mengusap rambut sebahu Risa dengan sayang. “Ibu hanya memperhatikanmu selama ini. sepertinya kamu mempunyai masalah. Namun sangking banyaknya masalah itu, kamu tidak ingin memikirkannya dan merasa bosan akan masalah itu. apa yang Ibu bilang barusan benar?” tanya Bu Tini lagi. Kali ini Risa terlonjak kaget. Ternyata ada orang yang memperhatikannya selama ini. meskipun tak secara langsung.
“bagaimana Ibu bisa tahu?” tanya Risa penasaran.
Bu Tini hanya tersenyum simpul. “Ibu bisa melihatnya dari wajahmu. Wajah itu mencerminkan bagaimana perasaan,” kata Bu Tini bijak. “yah, meskipun Ibu tak terlalu tahu tentang yang seperti itu, Ibu dapat merasakannya. Soalnya sebelum kamu, juga ada anak yang sepertimu di sekolah ini,” lanjut Bu Tini.
Risa hanya terdiam mendengar perkataan Bu Tini barusan. ‘ada murid lain selain aku? Kok bisa?’
“Ibu ngarang deh..,” bisik Risa pelan.
“Ibu tidak mengarangnya kok. Memang benar ada anak yang seperti kamu sebelumnya,” kata Bu Tini sambil melepaskan kacamata minus yang dikenakannya. “kasusnya sama sepertimu. Tidak ada yang menganggapmu ada. Namun, padahal kamu itu punya bakat loh,” kata Bu Tini.
Risa memainkan rok birunya sambil terus menunduk. Dia tidak berani melanjutkan pembicaraan ini. karena hal ini adalah hal yang menurutnya sudah melanggar batas seorang guru akan muridnya. Maksudnya ingin mengetahui lebih jauh tentang muridnya. Bagi Risa yang anaknya adalah seorang pemalu, bicara dari hati-ke hati seperti ini adalah hal yang tidak biasa. Setidaknya itu menurutnya.
“memangnya kalau saya bosan kenapa Bu?” tanya Risa. Kali ini nada bicaranya dibuat lebih berani.
Bu Tini tersenyum. “wah, sudah mulai ada kemajuan. Tapi kemajuannya agak terlalu maju. Kalau mau mengungkapkan perasaanmu, jangan tinggikan nada bicaramu,” ujar Bu Tini tenang.
Risa menyadari kesalahannya langsung menutup mulutnya. “ma-maafkan saya Bu.. reflek..,”
“reflek itu bagus..,” kata Bu Tini. “ah, sudah.. saya ini orangnya tidak terlalu bisa berkata-kata. To the point saja. Begini, saya ingin minta tolong ke Syarifah untuk mecahin kode ini. siapa tahu bisa mengusir kebosananmu,” kata Bu Tini sambil menyerahkan sebuah kertas.
Risa mengambil kertas tersebut dan membaca isinya. “apa ini?” tanyanya bingung.
“ini kode ‘kan? Dilihat dari bentuknya saja kamu apsti sudah tahu kalau ini sebuah kode..,” ucap Bu Tini sambil membolak-balik buku absen. “ah, sebaiknya kamu cepat kembali ke kelasmu. Ini sudah hampir jam pelajaran terakhir loh,”
“Astaghfirullah! Saya terlambat! Permisi ya Bu,” pamit Risa lalu keluar dengan terburu-buru dari perpustakaan.
Melihat sosok Risa yang kian menjauh, Bu Tini hanya tersenyum penuh arti. “mudah-mudahan kamu bisa memecahkannya ya Syarifah..,” ujarnya pelan sebelum kembali berkutik pada buku absen di hadapannya.
Kini lorong sekolah sudah sepi. Risa berjalan dengan cepat menuju kelasnya yang berada di lantai dua. Memang perpustakaan tempatnya berkunjung tadi itu berada di lantai satu. Itu mengharuskannya menaiki beberapa anak tangga yang dikenal sangat licin. Kalau saja dia berlari-lari di anak tangga tersebut dengan tidak hati-hati, maka bisa-bisa dia terjatuh. Sudah ada beberapa korban yang bernasib seperti itu.
Risa sekarang sudah berada di depan pintu kelasnya. Bisa terdengar dari dalam kelas, kelas tersebut sangat ribut. Bahkan tak jarang terdengar suara tertawa para siswi yang sedang bergosip di dalam sana. Dengan nafas yang memburu, Risa berusaha menenangkan detak jantungnya agar bisa kembali normal. Dia memejamkan matanya dan menghela nafas panjang.
Diambilnya gagang pintu, lalu dibukanya perlahan. Satu persatu murid-murid yang berada di kelas IX-9 itu menoleh ke arahnya. Namun satu persatu pula mereka memalingkan wajahnya lagi dan melanjutkan kegiatan mereka yang tadi sempat tertunda. Risa memasang senyum kecil saat melihat bahwa guru yang seharusnya datang belum datang. ‘mungkin sedang keluar sebentar?’ batinnya.
Risa menuju ke tempat duduknya di paling belakang. Memang, dia bisa saja memilih di tempat paling depan karena kejeniusannya. Namun, karena hawa keberadaannya itu kecil ditambah dengan sifat pemalunya, dia lebih memilih duduk dibelakang sendirian di samping jendela. Risa membenahi beberapa buku yang berserakan di atas mejanya sejak jam pelajaran yang lalu.
Ketika dia ingin duduk, tiba-tiba pintu kelas terbuka lebar dan memperlihatkan seorang lelaki tua yang memakai kacamata tebal. Lelaki tua yang bisa dipanggil guru itu masuk ke kelas. Seketika suasana kelas yang tadinya ribut kini menjadi hening. Tidak ada satupun murid yang membuka mulutnya hanya untuk berbisik siapa orang dibelakang guru itu.
“ehm.. kali ini Bapak ingin mengenalkan murid baru kepada kalian. Cepat perkenalkan dirimu sendiri!” perintah guru tersebut ke siswa di belakangnya.
Siswa itu mengangguk sedikit. “nama saya Muhammad Rahmad. Saya pindahan dari SMP 95. saya gamer,” katanya seraya tersenyum kepada calon teman-temannya.
Beberapa siswi langsung berteriak kecil saat melihat senyuman yang diberikan Rahmad. Aja juga siswa-siswa yang langsung tersenyum cerah mengetahui kalau anggota gamers di kelasnya bertambah. Mereka tak memperdulikan kalau guru paling mengerikan di seluruh bangunan SMPN 4 sedang memperhatikan tingkah mereka.
“Rahmad!! Suka game apa?!” teriak salah satu siswa yang menggantungkan headphone berwarna merah di lehernya.
Rahmad terdiam sebentar. “saya suka Starcraft,” jawabnya sambil tersenyum lagi. Membuat beberapa siswi mengeluarkan aura-aura berwarna pink dan beberapa bunga serta balon berbentuk hati dari dalam mata mereka.
“KYAA!!! Rahmad udah punya pacar belum?!!” tanya seorang siswi berkucir dua panjang. Matanya yang besar bersinar-sinar.
Dengan gugup, Rahmad membuka mulutnya untuk berbicara. “sa-saya..,”
“diam!!! Perkenalannya selesai!! Kamu Rahmad, duduk di belakang karena kursi yang kosong hanya tinggal di belakan sana! Di samping si… um.. sebentar Bapak lupa namanya siapa…,”
“Pak Arif ga seru ah…,” kata siswi tadi yang jawabannya terpotong.
“Sarah.. kamu bisa diam tidak? Bapak tadi suruh kamu diam ‘kan? Apa kamu mau nilai matematika-mu Bapak kurangi?” tanya Pak Arif bertubi-tubi. Tentu saja Sarah memilih untuk diam. Dia masih mempunyai akal sehat agar nilainya tidak dikurangi oleh Bapak kejam itu.
Pak Arif membuka buku absensi kelas yang berada di mejanya. “nah, Rahmad. Kamu duduk di samping murid yang namanya Syarifah itu,” kata Pak Arif sambil menunjuk bangku disebelah Risa. Risa yang dari tadi hanya melihat keluar jendela tidak terlalu perduli dengan keadaan kelasnya.
‘apa maksud Bu Tina tadi ya?’ batinnya sambil bertopang dagu. ‘kode rahasia?’ Risa mengambil secarik kertas yang tadi disimpannya di dalam kantung roknya.
Saat Risa sedang asyik dengan pikirannya, Rahmad berjalan mendekati Risa. “hei, namaku Rahmad. Salam kenal ya?” sapa Rahmad ramah.
Risa yang sednag melamun jelas saja tidak bisa mencerna kata-kata Rahmad. Bahkan ketika Rahmad menjulurkan tangannya untuk berjabat tangan, Risa menjabat tangannya dengan keadaan masih melamun. Dan semua perkataan atau lebih tepatnya pertanyaan Rahmad hanya dijawabnya dengan satu kata. ‘hn,’
Rahmad yang mulai kesal dengan tingkah Risa, mencoba mencubitnya. Jarak meja mereka yang tak terlalu jauh menguntungkan Rahmad untuk mencubit lengan Risa dengan keras.
“aaw!! Sakit tahu!!” ringis Risa dengan reflek memasukkan kertas pemberian Bu Tini ke dalam laci. “eh? Siapa kamu?” tanya Risa bingung. Diusapnya pelan bagian yang tadi terkena cubitan dari Rahmad.
Rahmad menepuk dahinya frustasi. “salah sendiri.. dari tadi aku sudah memperkenalkan diri, tapi kamu-nya saja yang tidak memperhatikan,” Risa memiringkan kepalanya sedikit.
“iya kuulang.. dengarin baik-baik tuh. Aku ini calon artis. Makanya kamu harus kenal aku. Setidaknya namaku,” kata Rahmad. Risa yang mendengarnya hanya tertawa pelan. “aku Rahmad. Baru pindah dari SMP 95,”
“eh?! SMP yang terkenal itu? kenapa mau pindah ke 4?” tanya Risa.
“urusan pribadi,” jawab Rahmad singkat.
“singkat banget.. apa ngga ada jawaban yang lebih logis lagi?” tanya Risa sambil mengambil buku catatannya untuk mulai mencatat pelajaran yang diterangkan oleh Pak Arif. Entah sejak kapan, Pak Arif telah memulai pelajarannya.
Rahmad hanya merespon pertanyaan Risa tadi dengan senyum lebar. Dia juga mengeluarkan satu buku kosong untuk mencatat. “sudah kubilang itu urusan pribadi. Kapan-kapan deh aku kasih tahu,” ucapnya sebelum berkutat dengan catatan matematika.
Risa berhenti mencatat dan memandang Rahmad beberapa saat. ‘aneh..,’ pikirnya. Lalu kembali mencatat pelajaran tentang bangun ruang tersebut.
.o0o.
Jam di dinding sudah menunjukkan pukul satu siang. Pelajaran hari senin itu berakhir mulus tanpa hambatan sekalipun. Sekarang Risa sedang bersiap-siap untuk menuju rumahnya. Dia memasukkan beberapa barang dari lacinya. Tanpa sengaja kertas dari Bu Tini terjatuh.
“hm? Apa itu?” gumam Rahmad saat melihat secarik kertas terjatuh di bawah meja Risa. ‘sepertinya dia tidak menyadarinya ya..,’ ucapnya dalam hati. Rahmad berinisiatif mengambil kertas itu. Risa masih juga belum sadar kalau kertas berisikan kode aneh itu sudah ada di tangan Rahmad.
Rahmad mengerutkan dahinya ketika melihat sederetan angka dan huruf yang tertulis rapi di kertas putih itu. “apa ini?” bisiknya pelan. Risa yang kebetulan mendengarnya langsung membalikkan wajahnya ke arah Rahmad.
Mata Risa terbelak lebar ketika memergoki Rahmad sedang membaca kertas kode tersebut. “kembalikan!!” seru Risa sambil menarik kertas itu. dia memeluk erat kertas kode itu. “jangan sentuh!”
“apaan sih? Itu kode ya? Keren!” teriak Rahmad kegirangan. “boleh aku coba?” tanya Rahmad ramah. Tak lupa dengan senyumannya. Meskipun Risa juga seorang siswi di kelas IX-9, tapi sepertinya hanya dia yang tidak terkena serangan maut dari senyuman dewa-nya Rahmad.
“Rahmaaad~” sebuah suara melengking terdengar dari arah depan mereka. Ternyata itu Sarah dengan beberapa temannya yang lain. “ga pulang? Ayo bareng!” ajaknya riang. Senyuman Sarah yang entah kenapa sangat manis dari biasanya itu membuat beberapa temannya bergidik ngeri. Tak biasanya Sarah bertingkah out of character seperti ini.
“maaf Sarah. Aku masih ada keperluan sama Syarifah,” ucap Rahmad. Sebagai permintaan maaf, dikatupkannya kedua tangannya dan membuat tampang maaf yang bisa meluluhkan beberapa hati para siswi.
Sarah terdiam. “Syarifah? Siapa itu?” tanya Sarah. Dengan tak sengaja, mata Sarah dan mata Risa bertemu. “ah.. dia toh..,” ucapnya sinis. “ya sudahlah. Kami duluan ya?” ucap Sarah lalu pergi dengan teman-temannnya keluar kelas dengan sebelumnya sedikit melambaikan tanganny ke arah Rahmad.
Rahmad membalas lambaian tangan Sarah sambil tersenyum. Dia melihat sosok Risa yang melewati dirinya. “eh?! Syarifah mau kemana?” tanya Rahmad dengan tampang polos.
“tentu saja aku mau pulang. Lalu..err.. kamu bisa manggil aku Risa kok. Lebih pendek. Setidaknya itu nama yang dipanggil sama keluargaku,” kata Risa seraya berjalan ke arah pintu kelas.
“eh tunggu!!” teriak Rahmad sambil sedikit berlari mengejar Risa. “Risa,” panggilnya ketika dia sudah sampai di samping Risa. Kini mereka berjalan beriringan di tengah sepinya lorong sekolah.
“hm?”
“kertas tadi itu apa? Aku boleh tau ngga?” tanya Rahmad. “please?”
Risa mendesah kecil. “itu bukan urusanmu loh..,” ucapnya pelan.
Rahmad mendengus kesal. Dia mengalihkan pandangannya dari Risa. “ya sudah!” katanya. Risa tak menghiraukannya.
Dengan sedikit usil, Rahmad melirik ke arah tas ransel Risa. Di sela-sela tempat untuk air mineral, terlihat kertas tadi menyembul. Sebuah senyum licik terukir di wajahnya yang keren. Dengan sigap, tangan kirinya mengambil kertas tadi.
“hei!! Rahmad!!” teriak Risa kesal. Bisa-bisanya dia lengah. Namun, itulah kebiasaan Risa. Meletakkan beberapa kertas di dalam kantung air mineral tersebut.
Rahmad berlari mendahului Risa. Sebenarnya bukan maksudnya untuk mencuri, tapi karena kekesalannya yang terlampau besar, dia bahkan melupakan akal sehatnya agar bisa mengambil kertas tersebut. Risa yang tidak tinggal diam langsung berlari mengejar Rahmad. Karena Risa memakai rok selutut, kecepatan larinya sedikit terbatas.
“tangkap aku kalau bisa, Risa!!” goda Rahmad. Risa yang sudah kelelahan berhenti sebentar untuk mengambil asupan oksigen.
“hosh.. hosh.., ka-kamu… beraninya..,” katanya dengan nafas tersengal-sengal.
-TBC-
salah banget... =3=;;